jump to navigation

Drs. KH. Tolchah Hasan 2 Feb 2011

Posted by Dedy Kurniawan in Tokoh Nusantara.
Tags: , , , ,
trackback

Menjadi Teladan Bagi Lingkungan

Tepat pada tanggal 15 Desember 2010, perempuan agung itu berpulang ke rahmatullah dalam usianya yang ke-96 tahun. Tapi bagi Drs. KH. Tolchah Hasan, wafatnya sang ibunda Anis Fatma masih menyisakan sejuta kenangan tak terlupakan. Sebab ibunya inilah yang menemani hari-hari keprihatinan dalam hidupnya.

Selepas Sekolah Rakyat (SR), Tolchah kecil ingin melanjutkan sekolah dan sekaligus mondok di pesantren. Namun bak pepatah bagai pungguk merindukan bulan, dirinya cuma bisa  tengadah. Sebab apa daya, bekal biaya memang tak punya. Mengetahui keinginan yang kuat sang anak, ibunya rela menjualkan sepetak tanah demi masa depan anaknya. “Nak..,” kata sang Ibunda, “Ibu jual tanah.. tetapi tidak banyak. Semoga cukup untuk beberapa waktu selama kamu di pondok.” Jadi? “Ya.. benar-benar memang sepetak tanah. Sebab hasil penjualannya hanya cukup untuk bekal hidup di pondok beberapa bulan saja,” tuturnya sambil menerawang ke masa kecilnya. “Itu pun saya harus jadi buruh ngliwet di pondok untuk menyambung kelangsungan hidup saya,” terangnya.

Dengan bekal hasil jualan sepetak tanah itulah, lelaki kelahiran Tuban 10 Oktober 1936 silam ini berangkat menuju pondok pesantren Tebuireng. “Ibu saya memang sangat luar biasa. Meskipun tak punya pendidikan formal karena perempuan waktu itu tabuh untuk bersekolah, beliau bisa baca Arab dan Latin,” ungkapnya. “Ibu sangat peduli terhadap masa depan anak-anaknya. Untuk soal pendidikan, beliau sangat all out memperjuangkannya,” tandasnya.

Ketika liburan pondok, sebagaimana santri-santri lainnya, dirinya pulang ke kampung halaman. Tetapi karena terlalu lama di rumah, ibunya menanyakan kenapa dirinya tak kembali ke pondok? Dengan suara lunglai mantan Menteri Agama RI ini berterus terang, bahwa dirinya tak punya uang. Lalu sang ibu pun menjual anting-anting yang dikenakannya. “Dari hasil jualan anting-anting ibu itulah, saya bisa berangkat lagi ke pesantren,” ungkapnya bernada keluh.

Setelah menjalani aktivitas belajarnya hingga tahun ketiga, kisah serupa ternyata berulang kembali. Dia pulang ke rumah dengan waktu yang lebih panjang lagi. Dan sang ibu pun mengetahui hal tersebut. Lalu apa yang dilakukan oleh perempuan agung itu? Kain jarik dan toples tempat kue yang dimilikinya pun dijual, agar anaknya bisa kembali ke pondok. “Saya sangat terharu dan tak mampu berkata apapun menyaksikan pengorbanannya itu,” tuturnya. “Sebab saya tahu.. hanya itu harta di rumah yang bisa dijual untuk bekal studi saya,” tambahnya.

Ketika dirinya tercenung, sang ibu pun menukas lembut: “Nggak apa-apa jarik dan toples dijual untuk bekal kamu menuntut ilmu. Kelak kalau kamu sudah jadi orang yang berhasil, kan bisa membelikan toples seperti yang kita miliki.” Sepenggal kisah hidup itulah, yang hingga kini masih membekas di benak pria yang pernah nyantri di Tebuireng selama 5,5 tahun dan 6 bulan mondok di Denanyar Jombang ini.

Sementara kenangan dengan sang ayah, tidaklah sepanjang bersama ibunya. Sebab ayahandanya wafat ketika dirinya berusia 32 tahun. Nama Mohammad Tolchah Hasan sendiri sebenarnya diambil dari nama ayahnya (Tolchah) dan kakeknya Abu Hasan. Lalu terangkailah menjadi namanya sebagaimana dikenal orang selama ini.

Tak seperti remaja sebayanya waktu itu, selepas mondok Tolchah Hasan tak memilih studi lanjutannya ke IAIN, melainkan ke perguruan tinggi umum. Pilihan yang berbeda pada zamannya itu dijatuhkan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmer Malang. Alasan yang diberikannya, karena pada tahun 1960-an Indonesia tengah mengalami pergolakan politik.

Dan pilihannya tersebut ternyata benar. Pada usia yang masih belia – tepatnya 23 tahun, dirinya dicalonkan menjadi anggota Badan Pemerintah Harian atau Wakil Eksekutif (Bupati) Malang hingga tahun 1973. Tentu saja untuk mengasah kemampuan berpolitiknya, Tolchah Hasan bergabung dalam organisasi politik. Dan bahkan aksi di tahun 1966 juga diikutinya. Disamping itu juga membekali dirinya dengan ilmu ketatanegaraan atau keniagaan pada Universitas Brawijaya Malang.

Namun garis hidup, bakat dan panggilan jiwanya yang mengantarkannya ke dunia pendidikan. Atas ajakan dan kepercayaan dari KH. Mansyur mulailah dirinya mengelola lembaga pendidikan Ma’arif di Singosari Malang. Perjalanan karirnya dimulai sebagai seorang guru MTs. Lalu berkembang dengan mendirikan PGA, MA dan SMA, hingga perkembangannya bisa dilihat sampai saat ini. Dengan semangat perjuangan, keyakinan yang kuat, serta inovasi-inovasi yang terus dilakukan, lembaga pendidikan yang dikelolanya terus mencapai kemajuan demi kemajuan. “Saya yakin, dengan pendidikan akan bisa mengubah nasib umat Islam jauh lebih baik,” tegasnya.

Ketika melihat orang Islam jumlahnya sangat kecil di birokrasi, dirinya terdorong untuk makin meningkatkan kualitas dunia pendidikan. Sebab dengan pendidikanlah, kecerdasan umat Islam akan dapat ditingkatkan. Di sisi lain, dirinya juga turut memperjuangkan kesejahteraan melalui bidang kesehatan. “Ketika bersama istri saya merintis layanan konsultasi kesehatan di daerah tempat kami tinggal, kami merasakan betapa sulitnya mencari tenaga bidan yang Muslim,” keluhnya.

Itulah yang membuat kiprahnya di dunia pendidikan makin berkibar. Utamanya sejak turut membidani berdirinya Universitas Islam Malang pada tahun 1981. Disamping Fakultas Agama Islam, juga terdapat beberapa fakultas umum lainnya. “Keistimewaan Unisma ini, adalah muatan materi agamanya lebih banyak dibandingkan perguruan tinggi umum lainnya,” simpulnya.

Memang banyak yang bertanya, kenapa Drs. KH. Tolchah Hasan tak mendirikan pondok pesantren? Sebab dia merasa, bahwa rekan-rekan sealumninya sudah banyak yang mendirikannya. Itulah pasalnya, kenapa dirinya lebih memilih mendirikan pendidikan umum. Hanya saja, dirinya ingin mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang tidak tergantung pada figur tapi lebih berorientasi pada sistem. “Ya kalau figur yang memimpin baik, maka lembaga pendidikannya pun juga turut baik. Namun kalau figurnya tidak baik, maka otomatis akan sangat berpengaruh pada lembaganya,” tukasnya mengingatkan.

Apalagi saat ini sudah banyak umat Islam yang berduit. Sehingga para pengelola pendidikan harus pandai-pandai membaca dengan jeli peluang tersebut. Mereka tak akan mempermasalahkan besarnya biaya pendidikan, asalkan yang penting kualitasnya bagus. Demi menghadapi tantangan dan peluang yang ada inilah, dirinya bersama para praktisi pendidikan dan tokoh masyarakat mendirikan lembaga pendidikan Sabilillah Malang; mulai dari tingkat pendidikan kanak-kanak sampai ke tingkat menengah.

Betapapun dirinya lebih banyak berkiprah di luar rumah, namun tak pernah mealpakan pendidikan putra-putrinya. Kini ketiganya telah sukses menggeluti bidang peternakan, bidang teknologi dan kedokteran. Bahkan yang berkiprah di bidang kedokteran telah mampu membuat link kerja dengan tenaga medis dan laboratnya, yang kesemuanya adalah perempuan. Di tengah-tengah kesibukannya itulah, putra-putrinya bisa menjadikannya sebagai ladang dakwah.

Ada satu pesan yang senantiasa disampaikannya kepada putra-putrinya; Jangan hanya menuntut penghormatan dari orang lain, tetapi jadilah teladan yang baik bagi lingkungan sekitar. Sebab tak semua Kiai atau Ulama’, anak-anaknya juga jadi Kiai dan Ulama’. Maka tepat doa yang digaungkan Nabi Ibrahim a.s.: Rabbana hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrata a’yun, waj’alnaa lilmuttaqiina imaaman. Syaifudin Ma’arif

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment