jump to navigation

Pentingnya Itsbat Nikah di Rembang 23 Mar 2010

Posted by Dedy Kurniawan in Artikel.
Tags: , , , , ,
trackback

Oleh Dedy Kurniawan

Jumlah peristiwa nikah di bawah tangan di Kab. Pasuruan, ternyata masih cukup besar. Merujuk data yang dihimpun oleh Bidang Urusan Agama Islam (Urais) Kandepag Kab. Pasuruan hingga 29 Mei 2008, peristiwa nikah di bawah tangan mencapai angka 2.244.

Dari 24 Kecamatan di Pasuruan, Rembang men­duduki peringkat pertama dengan jumlah 530 kasus. Disusul Kec. Puspo (242) dan Kec. Pasrepan (216). Selain itu, masih ada empat kecamatan lagi dengan jumlah nikah di bawah tangan lebih dari 100, yaitu Kec. Lumbang (162), Kec. Kraton (142), Kec. Gondang Wetan (132) dan Kec. Nguling (121).

Hanya empat kecamatan yang memiliki catatan nikah di bawah tangan paling sedikit, yaitu Kec. Gempol (nihil), Kec. Beji (5), Kec. Winongan (10) dan Kec. Pur­wo­dadi (13). Sedangkan kecamatan lainnya, memiliki catatan nikah di bawah tangan antara 27 hingga 88 kasus.

Kepala KUA Kec. Rembang, Bakhrul Ulum, S.Ag.,M.Si tak menampik saat dikonfirmasi tentang tingginya angka nikah di bawah tangan di daerah itu. Siapa yang tak kenal dengan Kec. Rembang Kab. Pasuruan? Sejak lama, daerah yang berjarak sekitar 15 Km arah barat Alun-Alun Pasuruan ini, dikenal dengan peristiwa “kawin kontrak”nya. Tak hanya di Jawa Timur, tapi sudah menyebar ke seantero negeri ini.

Tapi belakangan, stigma kawin kontrak, mulai di­bantah oleh Kepala KUA Kec. Rembang. “Sejak men­jabat Kepala KUA hampir dua tahun yang lalu, saya tak pernah menemukan peristiwa kawin kontrak di Rembang. Yang ada hanya nikah di bawah tangan,” sanggah lelaki kelahiran Pasuruan, 18 Agustus 1976 ini dengan mimik serius.

Menurutnya, latar belakang ekonomilah yang menjadi faktor utama penyebab derasnya laju nikah di bawah tangan di Kec. Rembang. Di daerah berpenduduk 56.006 jiwa – 26.624 pria dan 29.382 perempuan – ini, gadis yang relatif masih belia terpaksa dinikahkan, dengan harapan bisa mengurangi beban keluarga.

Faktor pendidikan dan keterbatasan ekonomi, papar­nya, menyebabkan kaum wanita di Kec. Rembang hanya tamat madrasah Ibtidaiyah, bahkan ada yang tidak tamat. “Asalkan sudah bisa membaca dan menulis, para orang tua sudah merasa senang. Sehingga mereka banyak yang menikah muda,” ujarnya.

Pendidikan umum kurang begitu diutamakan di Rem­bang. Pendidikan agama adalah hal yang utama. Setelah itu, wanita harus siap berumah tangga. Faktor sosial budaya, juga berkaitan erat dengan kebiasaan kawin muda di Kec. Rembang. “Mereka melakukan perkawinan pada saat men­capai usia yang dianggap pantas untuk menikah dan malu disebut perawan tua,” tukas mantan Kepala KUA Kec. Sempol Kandepag Kab. Bondowoso ini.

Di Rembang, papar pria yang pernah menjabat sebagai Kepala KUA Kec. Binakal Kandepag Kab. Bondowoso ini, para wanita tak suka neko-neko (macam-macam) menuntut segala rupa kebutuhan saban hari. Dengan status perni­kahan yang jelas serta sah secara agama Islam, walau tanpa harus tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), itu sudah cukup baginya. Lelaki yang menikahinya, hanya cukup memberikan modal atau biaya yang bisa dikelola sebagai bekal untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Dari situlah, hampir kebanyakan di antara para wanita Rembang yang membuka usaha konveksi, mengelola wartel, warung kaki lima dan sebagainya,” ujarnya.

Walau demikian, masyarakat Kec. Rembang meru­pa­kan penganut ajaran agama yang kuat. Khususnya yang me­nyangkut norma-norma atau kaidah perkawinan berdasarkan hukum Islam. “Masyarakat sini sangat tawadlu’ dengan Kyai,” ucap mantan Kepala KUA Kec. Wonosari Kandepag Kab. Bondowoso itu. Maka, tafsir keagamaan tetap memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Rembang.

Hukum Islam telah mengatur sangat ketat tentang di­larangnya pergaulan laki-laki dengan wanita secara ber­le­bihan. Islam pun melarang hidup bersama di luar nikah. Hal inilah yang menyebabkan kawin di bawah tangan (nikah siri) dianggap paling aman untuk terhindar dari pelanggaran norma Islam. Sehingga konsep kawin siri dianggap wajar di Rembang. Dari 17 Desa yang ada, Desa Kalisat menjadi pe­nyumbang terbesar angka nikah di bawah tangan.

Melihat kondisi demikian, suami Thuchfah S. Muniroh yang juga pegawai Urais Kandepag Kab. Pasuruan ini ber­tekad mengikis budaya nikah di bawah tangan. Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, katanya, namun per­kawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pe­ngawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum. “Pernikahan di bawah tangan dianggap tidak sah di­mata hukum,” tandasnya. “Secara hukum maupun sosial, ni­kah semodel ini juga sangat merugikan perempuan,” tambahnya menegaskan.

Wanita pelaku nikah di bawah tangan, jelasnya, secara hukum tidak dianggap sebagai istri sah. Dirinya tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami, jika suami meninggal dunia. “Ia juga tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi,” tandasnya.

Secara sosial, lanjutnya, wanita-wanita ini juga akan sulit bersosialisasi. Mereka sering dianggap telah tinggal se­rumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan alias kumpul kebo, atau dianggap menjadi istri simpanan.

Banyaknya anak perawan atau janda kampung yang terjebak menjadi korban nikah di bawah tangan (nikah siri) – karena kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan – membuat pria asli Pasuruan ini prihatin. Dilema tersebut hingga kini menjadi permasalahan yang dihadapinya. “Se­bab, para lelaki yang menikah siri di desa meninggalkan ma­salah baru, terlebih jika pernikahannya juga membuahkan anak,” ucapnya.

Bakhrul menerangkan, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Di dalam akte kelahirannya pun, tandasnya, statusnya dianggap se­bagai anak luar nikah. Sehingga, nama ayah tidak akan di­cantumkan, hanya nama ibu yang melahirkannya. “Kon­sekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu,” paparnya.

Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. Hal ini telah dijelaskan pada pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, serta pasal 100 KHI (Kompi­lasi Hukum Islam). “Dengan demikian, si anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya,” tandasnya. “Maka, secara sosial dan psikolo­gis, status ini akan sangat berdampak buruk bagi si anak,” tambahnya.

Untuk itulah, bersama tokoh masyarakat, muspika, ulama dan LSM ICDHRE (Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment), dirinya menyosialisasi­kan pentingnya akta nikah bagi sebuah keluarga.

Mulai dari mimbar Jum’at Masjid, lewat radio, saat melakukan pencatatan nikah, suscatin dan berbagai kegiatan lainnya, sesempat mungkin dia berikan wawasan tentang pentingnya pencatatan nikah.

Alumnus S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Ampel  ini pun berharap, agar para modin di desa-desa yang ada di wilayah Kec. Rembang membantu para penghulu menikah­kan warganya secara hukum agama maupun negara. “Nikah harus dilaksanakan sesuai hukum agama, serta dicatatkan ke kantor KUA. Sehingga cita-cita membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bisa tercapai,” harapnya.

Tapi, nikah di bawah tangan sudah terlanjur banyak terjadi. Lantas, apa yang bisa dilakukan KUA Kec. Rembang mengatasi hal ini? “Bagi yang beragama Islam, ada bebe­rapa solusi seperti itsbat nikah,” tukasnya.

Sesuai pasal 7 KHI, paparnya, permohonan itsbat ni­kah (penetapan/pengesahan nikah) bisa diajukan kepada Pengadilan Agama oleh mereka yang muslim, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte ni­kah. Menurutnya, itsbat nikah perlu dilakukan agar status anak menjadi jelas. “Setelah memiliki akta nikah, kami himbau mereka untuk segera mengurus akta kelahiran anaknya. Ini penting bagi status sang anak,” katanya. “Kami berjanji akan membantu dan mempermudah pengajuan itsbat nikah jika ada masyarakat yang meminta,” tambahnya.

Comments»

1. hukumkeluargaislam89 - 20 Dec 2011

bagus


Leave a comment