jump to navigation

Kurikulum Kaum Terpenjara 3 Mar 2010

Posted by Dedy Kurniawan in Artikel.
Tags: , , , , , ,
trackback

Oleh Ilung S. Enha *)

Entahlah, kenapa sepanjang zaman PEREMPUAN selalu jadi urusan. Mulai dari penyelundupan para pelacur di abad-abad peperangan, hingga merebak ke persoalan TKW dan wanita karir. Dari persoalan gender yang menghasilkan persentase di kursi dewan dan lembaga eksekutif, sampai pada persamaan di bidang hukum dan Hak Azasi Perempuan. Di ruang-ruang agama, juga pernah diramaikan oleh problematika fiqh perempuan.

Kini, di dunia edukasi, timbul pula gagasan latah-latahan; Pendidikan Kaum Perempuan. Yang melatarbelakanginya, tentu anggapan bahwa mereka merupakan kaum yang tertinggal, terbelakang sekaligus tertindas. Padahal tradisilah yang menggiring mereka hingga terjungkal ke lobang masyarakat yang nomer kesekian. Jeratan jeruji kultural itulah yang membuat wanita selalu sibuk berkutat dari persoalan dapur dan kasur.

Di Jawa misalnya, perempuan dibingkai sebagai klangenan (hiburan). Mereka disejajarkan dengan kukila (burung yang berkicau) dan turangga (kuda tunggangan). Di daerah-daerah lainnya, juga tak jauh beda. Kaum hawa itu diposisikan sebagai pusaka yang harus dirawat sebaik mungkin dan ditempatkan pada wadah yang teramat agung. Meskipun tetap saja, sebagai objek kaum lelaki. Tafsir keberagamaan kita pun, juga masih tak bisa melepas bias kultural tersebut. Sehingga dari fatwa para alim itu, kita masih kerapkali mendengar bahwa perempuan termasuk satu dari tiga ujian hidup yang utama; harta, tahta dan wanita.

Tetapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin kita mendaur-ulangnya hingga menjadi beras kembali. Namun apa pun bentuk gagasan terhadap kaum perempuan, yang terpenting bagaimana kita dapat menjebol tembok penjara objek. Apalagi secara kodrati, perempuan itu adalah merupakan subjek pendidikan. Maka tak usah berharap ada lelaki yang sanggup menjadi pembina play group dan guru TK. Pepatah Arab bilang, ibu itu madarasah bagi anak-anaknya. Rumah yang tanpa ibu akan membuat mereka menjadi anak-anak kost-kostan  meminjam istilah Inggris cuma jadi house, tak menjadi home.

Maka tak ada salahnya dimunculkan ide kurikulum khusus, yang tak sampai menjebol mereka dari area domestik. Sejauh-jauh melang-lang buana di area publik, mereka harus pulang kembali ke ranah domestik. Jangan serahkan rumah tangga sepenuhnya pada kaum lelaki. Sebab terbukti tatkala menjadi duda, bukan anak-anak yang mereka pikirkan, melainkan bagaimana dapat menggaet istri kembali. Sedangkan para wanita tak sedikit yang rela menjada, demi masa depan anak-anaknya.

Maka kaum perempuan sangat membutuhkan penguasaan psikologi anak dan psikologi yang khas wanita. Dengan itu mereka akan dapat mendidik putra-putri mereka, minimal dapat mendidik diri sendiri. Juga matematika dan ilmu ekonomi yang sangat mereka butuhkan. Setidaknya, kaum hawa itu tak jadi makhluk yang konsumeris dan hedonis. Atau paling tidak, mereka akan pintar memenej uang belanja dan mengkalkulasi hutang rumah tangga.

Jika mungkin, perlu diadakan komputerisasi khusus buat ibu-ibu rumah tangga. Di samping untuk memandang luasnya padang kehidupan di luar jendela, mereka juga bisa berkomunikasi dengan dunia luar via internet. Seperti di Jepang, ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki karyawan seribu orang, tetapi mereka tak saling ketemu. Produk tersebut dikerjakan di rumah karyawan masing-masing, sedangkan ibu itu hanya memenejnya dari rumah sambil mengganti popok bayi.

Dan jangan lupa, motivasi kaum wanita itu dengan penguasaan bahasa  minimal Inggris dan bahasa Arab. Dengan begitu mereka akan dapat mendidik putra-putrinya, hingga kelak dapat menjadi warga kelas dunia. Bahasa Inggris akan sangat membantu mereka guna meraup gemerlapnya ilmu pengetahuan. Dan bahasa Arab sangat memudahkan mereka untuk menggali jernihnya mata air agama.

Oh, ya satu lagi: tancapkan aqidah di dasar hati mereka, bahwa Allah senantiasa berperan dalam setiap detak langkahnya. Sebab kalau perempuan sudah tak mengingat Tuhan, apa saja bisa dijual  termasuk dirinya sendiri. Dan itu akan sangat berakibat fatal bagi keluarga, para tetangga dan lingkungan sosialnya. Padahal wanita itu tiang negara; kalau sudah tiangnya ambruk, maka bangunannya tentu saja akan berantakan pula.
SUNGGUH, hanya bangsa yang agung, yang bisa menghargai kaum wanita!

*) Penulis buku “Mencari Tuhan di Warung Kopi; Meraih Cinta Tanpa Guru

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment