jump to navigation

Prof. Dr. H.R. Daldiri Mangoendiwirja 4 Feb 2010

Posted by Dedy Kurniawan in Tokoh Nusantara.
Tags: , , , , , ,
trackback

Lebih Tertarik Menjadi Rektor

Prof. Dr. H. R. Daldiri Mangoendiwirja, tak saja berdarah ningrat. Namun sekaligus juga berdarah Kiai. Silsilah ibundanya, bergaris pada keturunan Raja Pakubuwono I Kartasura. Dari silsilah tersebut, terdapat nama Tumenggung Singoludro; yakni Panglima Tertinggi Mangkubumi yang berontak pada Belanda. Semangat itulah yang mengalir ke diri ibundanya. Sedangkan ayahandanya, bergaris silsilah ke seorang Kiai yang merupakan tentaranya Pangeran Diponegoro.

Wajar jika lelaki kelahiran 16 Agustus 1924 di Desa Plered Wates Yogyakarta ini, mewarisi idealisme juang dari kedua orang tuanya. Itulah yang membuatnya sejak muda sudah aktif di berbagai kegiatan. Pada tahun 1951 s/d 1953, dirinya pernah menjadi Ketua Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS). Pada tahun 1952 s/d 1957, juga dipercaya sebagai Ketua HMI Cabang Surabaya.

Pada Pemilu pertama tahun 1955, sebagai Ketua HMI dirinya menghimpun seluruh organisasi Islam untuk memenangkan Pemilu. Kader-kader HMI berkampanye untuk partai-partai Masjumi, NU, Perti dan PSII. “Pada pemilu tersebut saya behasil menyatukan keempatnya. Dan hasilnya, Pak Natsir jadi Perdana Menteri,” ungkapnya bangga.

Tak ayal jika pada saat meletus G-30/SPKI 1965, Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Islam (KASI) ini, menjadi target yang harus dibunuh. Bahkan ketika gerakan tersebut sudah mulai mereda di tahun 1966, ancaman terhadapnya masih saja terjadi. Ketika dilantik sebagai Wakil Ketua PTDI Jawa Timur, tepatnya tanggal 2 Juni 1996 di Grahadi Surabaya, rumahnya di Jl. Raya Gubeng dibom orang sekitar pukul 23.00 Wib. “Yaa.. itulah resikonya jadi pemimpin. Karena kami punya prinsip, sehingga ada saja orang yang benci dan memusuhi,” ujarnya brnada keluh.

Idealisme itu pula yang menggelorakan semangatnya, menjelang masa-masa kemerdekaan. Ketika revolusi kemerdekaan pecah dan berkobar ke seluruh Nusantara pada tahun 1945, suami R.A. Wardiastuti Wiwoho ini turut aktif dalam gejolak api revolusi tersebut. Sehingga pada kurun waktu 1945-1946, terpaksa tak sekolah. Sebab mengikuti perjuangan rakyat, karena Pemerintah Hindi Belanda ingin kembali lagi – setelah bertekuk lutunya Pemerintah Jepang kepada pihak Sekutu.

Lantaran melihat banyaknya para pemuda yang terluka, dirinya lantas bergabung dengan pasukan gerak cepat dari Palang Merah Indonesia (Mobile Colonne). Pada saat itulah lantas tumbuh keinginannya untuk menjadi seorang dokter. Setelah api pertempuran agak mereda di tahun 1946, lalu melanjutkan belajarnya ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Cabang Malang.

Sayangnya, pada Juli 1947 tentara Belanda kembali menyerbu ke daerah-daerah Republik – termasuk Malang dan sekitarnya. Itulah yang membuatnya kembali ke kampung halaman di Yogyakarta. Di sana dia bergabung dengan Mobil Colone PMI, untuk membantu pejuang-pejuang yang ada di Banjarnegara. Baru pada bulan Agustus 1948, ayah 6 anak ini kembali melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Indonesia Cabang Klaten pimpinan Prof. Dr. Sardjito.

Sayangnya, tak berselang lama Belanda kembali menyerbu. Tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948. Lalu dia turut bergerilya di daerah Yogyakarta Selatan dan Timur selama enam bulan. Dan pada bulan Juni 1949, Yogyakarta kembali ke tangan Republik. Persiapan Fak. Kedokteran Klaten dibuka di Yogyakarta. Dan tepat pada tanggal 19 Desember 1949, Fak. Kedokteran, Fak. Pertanian, Fak. Farmasi dan Fak. Kedokteran Gigi pindahan dari Klaten, dijadikan satu dengan Fak. H.E.S.P. (Swasta) untuk lebur menjadi Universitas Negeri Gajah Mada.

Pada Agustus 1950, kakek dari 14 cucu ini pindah ke Fak. Kedokteran Indonesia Cabang Surabaya di bawah pimpinan Prof. Dr. M. Sjaaf. Lima tahun kemudian, diangkat menjadi asisten di Bagian Saraf/Jiwa Fak. Kedokteran UNAIR dibawah pimpinan Prof. H.R.M. Soejoenoes. Dan pada tahun 1958, lulus sebagai seorang dokter. Dari sanalah karirnya kemudian terus menanjak. Pada tahun 1963, dia mendapatkan brevet Kedokteran Saraf dan Jiwa. Lalu di tahun 1964 s/d 1965, melakukan studi lanjutan bidang Psikiatri di School of Medicine University of Southern California di Los Angeles (USA).

Pada tahun 1968 mulai giat kembali menggelorakan kegiatan di bidang sosial. Waktu itu dirinya menjabat sebagai Wakil Ketua IDI Jawa Timur, yang berakhir dua tahun kemudian. Di tahun 1969 juga ditunjuk oleh Gubernur Jatim, untuk menjadi Ketua Lembaga Keluarga Berencana Jawa Timur. Setahun kemudian, dia mengikuti pendidikan Administrasi Keluarga Berencana di Asia Selatan (Singapura, Thailand, Bangladesh, India dan Pakistan).

Pada tahun 1970 juga sempat mendirikan organisasi profesi (ahli penyakit syaraf dan kedokteran jiwa) di Semarang. Dua tahun kemudian, dipercaya sebagai Ketua Perhimpunan Neurologi, Psikiatri dan Neurochirurgi, yang berakhir pada tahun 1974. Di tahun 1972 juga dipercaya menjadi Kepala Biro Penerangan dan Motivasi BKKBN Jawa Timur.

Dua tahun kemudian, juga diamanahi sebagai Ketua Bidang Rehabilitasi Bappenkar (Badan Pelaksana Penanggulangan Narkotika dan Kenakalan Anak dan Remaja). Pada Februari 1978, dirinya menjadi anggota delegasi Indonesia, untuk mengikuti Konverensi Comission on Narcotic di Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNO) di Geneva, Swiss.

Pada tahun 1980 dia menjabat sebagai Kepala Bagian Psikiatri Fak. Kedokteran UNAIR/RSU Dr. Soetomo. Dan memasuki masa purna tugas pada tahun 1989. Namun dirinya diangkat kembali oleh Presiden R.I. menjadi Guru Besar Emeritus. Pengukuhannya waktu itu dilakukan di Aula Fakultas Kedokteran UNAIR. Selama menjadi Guru Besar, telah membina sampai mendapat gelar S-3 (Doktor) para Psikiater di Universitas Gajah Mada, Universitas Pajajaran, Universitas 11 Maret dan Universitas Airlangga sendiri.

Pada tahun 1989, dipilih secara aklamasi menjadi Ketua Pergeri (Perhimpunan Gerontologi Indonesia) Jatim. Dan pada periode 1995 s/d 2000, Prof. Dr. H. R. Daldiri Mangoendiwirja juga pernah menjabat sebagai Ketua ICMI Jawa Timur. Maka pantas jika dipundaknya disematkan 7 bintang penghargaan; Bintang Gerilya (4 macam), Bintang Perintis Kemerdekaan, Bintang Karya Satya Lencana 25 tahun dan Bintang Perintis Geriatri.

Pada tahun 1992, dia diminta sebagai anggota DPR Pusat Partai Persatuan Pembangunan. Hal itu bersamaan dengan Universitas Merdeka, yang memintanya jadi Rektor. “Ya.. dari pada repot-repot jadi anggota DPR di Jakarta, saya lebih memilih menjadi Rektor di Universitas Merdeka,” tukasnya enteng. “Mertua saya itu tokoh Masyumi dan pernah menjadi Duta Besar di Belgia. Tapi kata beliau, kalau mau hidup aman dan tenteram, jangan menjadi orang partai,” tambahnya.

Di usianya yang ke 85 tahun ini, dirinya masih tampak segar bugar. Sehingga sampai saat ini pun, masih sanggup melakukan tugasnya sebagai Ketua STAI dan Rektor Universitas Merdeka Pasuruan dengan baik. “Dengan modal semangat, kesabaran, ketabahan dan senantiasa bertawakkal kepada Allah, maka segala yang hendak kita targetkan pasti akan menuai keberhasilan,” petuahnya singkat. Dedy Kurniawan

Comments»

1. omadi wisnu - 3 Jan 2012

thank you prof., refreshing,always enlighting and inspiring for me..

2. hafid algristian, dr. - 6 Sep 2014

dear author,
saya sedang mencari nama Prof Soejoenoes karena di tempat kami akan mengadakan Tribute Lecture utk beliau, namun nyasar ke sini.

terimakasih sudah menulis tentang guru besar kami. he is always inspiring, dan di akhir masa menjelang beliau wafat, kami para residen psikiatri bergantian menunggui di kamar rawat.

tulisan ini membangkitkan kenangan kami akan beliau. jika berkenan, akan saya print untuk saya tunjukkan ke staf senior kami yang lain.

terimakasih.

regards,
hafid algristian, dr.

3. Hafid Algristian, dr. - 6 Sep 2014

oiya belum kenalan.
salam kenal, saya hafid algristian, residen psikiatri UNAIR.
🙂

4. Hafid Algristian, dr. - 6 Sep 2014

Reblogged this on Katakata Sukasuka and commented:
Prof. Dr. H. R. Daldiri Mangoendiwirja. Ayah, guru, sekaligus sahabat.

decazuha - 10 Sep 2014

Silakan. Saya juga banyak belajar dari beliau. Dan saya juga bersyukur bisa berbincang dan mewancarai beliau. Semoga tulisan ini bisa menambah manfaat bagi kita semua.

5. roziq zainudin SH - 3 Dec 2015

trims.selama ini saya banyak memandang negatif universiter merdeka pasuruan,tapi setelah saya dalami saya jadi mkin cinta dan aktif sebagai staf pengajar disana.bahkan dipromosikan menjadi mahasiswa pasca di universitas brawijaya malang.saya bangga menjadi bagian dari lembaga yang dipimpin pak DR.daldiri mangoendiwija.

6. Retno Kusuma - 9 Nov 2016

Dulu tahun 2011 saya pernah menemani suami berobat ke Prof.Daldiri, beliau sangat ramah dan bisa diajak becanda….beliau menceritakan kisah2 usaha, kesabaran,dan kesembuhan pasiennya sebagai motivasi kepada suami saya. Hanya beberapa kali suami saya berobat ke prof. Karena waktu itu ribet ngatur jadwal periksa bersama rekan mertua yang mau periksa juga selain itu jarak Lamongan – Surabaya agak berat juga akhirnya kami nggak meneruskan pengobatan di Profesor…cuma keramahan beliau masih terkenang dalam benak kami….tadi iseng saya browsing tentang Profesor dan ketemulah blog ini…Speechless setelah membaca tulisan ini….nggak tahu kalau background beliau dan kisah beliau begitu Wowww…..dan sedihnya pas baca komentar, baru tahu kalau beliau sudah wafat 😞…terimakasih prof atas wejangan panjenengan mengenai kesabaran…selamat jalan prof semoga Tuhan melapangkan kuburmu dan memasukkan engkau di SurgaNya…trimakasih juga utk yg punya blog ini ya…saya jadi tau kisah tentang beliau 🙏


Leave a reply to omadi wisnu Cancel reply